Tugas Sejarah
“ Perkembangan Pers dan
Hukum
Di Indonesia Pada Masa Orde
Baru “
Nama : Aminah Tri Putri
Kelas : XII Ipa 3
DINAS PENDIDIKAN NASIONAL
SMA NEGERI 8 KOTA BENGKULU
TAHUN AJARAN 2012/2013
A. Pers Pada Masa Orde baru
pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati
dirinya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi.
Meskipun orde baru telah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan di awal
pemerintahannya, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu dan
mendapat tekanan dari segala aspek. Pers pun tidak mau hanya diam dan terus
mengikuti permainan politik Orde baru. Sehingga banyak media massa yang
memberontak melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah, bahkan banyak
pula yang membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya pada tahun 1994
banyak media yang dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor. Namun majalah
Tempo adalah satu-satunya yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru
melalui tulisan-tulisannya hingga sampai akhirnya bisa kembali terbit setelah
jatuhnya Orde baru. Pemerintah memang memegang kendali dalam semua aspek pada
saat, terutama dalam dunia pers. Lalu apa fungsi dari dewan pers pada saat itu?
Ternyata dewan pers hanyalah dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan
pemerintah saja, bukan melindungi insan pers dan masyarakat. Dewan Pers seakan
kehilangan fungsinya dan hanya formalitas belaka.
1.
Perkembangan
Pers Pada Masa Orde Baru
Pada awal
kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan
dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan
Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama.
Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain
aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai
bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat.
Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka
cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat
berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan
berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut
akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam
penerbitannya.
Pada masa
orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah
yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa
tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru.
Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya,
sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai
pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21
Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat
izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan
laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat
Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri
penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi
secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang
politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum
berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para
pendukungnya yang hantu rezim Soeharto.
2.
Fungsi Dewan Pers pada masa Orde Baru
Dewan pers adalah lembaga yang
menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers
adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Fungsi
dan peranan pers Berdasarkan ketentuan pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang
pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol
sosial.
Sementara Pasal 6 UU Pers menegaskan
bahwa pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut: memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui menegakkkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat, dan benar melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan dan
kebenaran. Berdasarkan fungsi dan peranan pers yang demikian, lembaga pers
sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi( the fourth estate) setelah
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif , serta pembentuk opini publik
yang paling potensial dan efektif.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan
pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers
bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari
pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak
anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga
Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat
itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung
pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan
dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan
pers hanya formalitas saja.
Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C. Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.
Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C. Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.
B.
Hukum
Pada Masa Orde Baru
Orde baru adalah sebutan bagi pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat koreksi total atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno
pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesiaberkembang
pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Zaman Orde Baru secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan
bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB
kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya. Pada tahap awal, Presiden Soeharto.
Orde Baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya
melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat
dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan
seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto menggunakan
konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang
diusung Ali Moertopo, dengan
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya
stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan
ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital
internasional. Warga keturunanTionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara
tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara
terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang,
meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali
akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan
bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di
Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Perkembangan hukum pada
masa Orde Baru ini mengalami pasang surut, akan tetapi patut diingat bahwa
system Pemerintahan Orde Baru memiliki kelebihan yaitu menyukseskan transmigrasi,
mempelopori keluarga Berencana (KB), memerangibuta huruf, menyukseskan
keamanan dalam negeri, Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia serta
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri. Sedangkan
kekurangan pada system Pemerintahan Orde Baru ini yaitu
1)
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
2)
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan
antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian
besar disedot ke pusat
3)
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
4)
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5)
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
6)
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8)
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibredel
9)
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
“Penembakan Misterius”
10)
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya)
11)
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak
Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang
efektif negara pasti hancur.
12)
Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga
kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Mundurnya Soeharto dari
jabatannya pada tahun 1998 dapat
dikatakan sebagai tanda berakhirnya masa Orde Baru, untuk kemudian digantikan Era Reformasi“.Perlu kita ketahui bahwa pada Masa Orde Baru adalah
merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta bermuatan unsur
politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde
Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala sector, dimulai dari
sector Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan
lain-lain sebagainya.
Dan untuk mengembalikan
Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum
dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945
dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah
Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan
Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan
pemerintah secara menyeluruh. Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber
tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn
Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu
Pancasila.
Pada pembangunan lima
tahun yang merupakan sebagai Rule of Law pada tahun 1969 merujuk kepada
paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang
berazas atas hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka,
dimana Hukum di fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat proses
pembangunan melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan
hukum dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada
persoalan normative dan ligitigatif (dengan kombinasi melakukan kodifikasi dan
unifikasi hukum nasional).
Kontinuitas Perkembangan Hukum Dari Hukum Kolonial Ke
Hukum Kolonial yng dinasionalisasi, adalah pendayagunaan hukum untuk
kepentingan pembangunan Indonesia, adalah dengan hukum yang telah diakui dan
berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari hukum dan praktek
bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek yang mempelajari hukum eropa
(belanda), dalam hal ini, mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum
dan bisnis Internasional, telah melakukan pengembangan hukum nasional Indonesia
dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila
adalah yang dipandang paling logis. Dimana Hukum Kolonial secara formil masih
berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia
berdasarkan ketentuan peralihan, terlihat terjadi pergerakan kearah pola-pola
hukum eropa (belanda), yang mengadopsi dari hukum adat, hukum Amirika atau
hukum Inggris, akan tetapi konfigurasinya/pola sistematik dari eropa tidak
dapat dibongkar, hukum tata niaga atau hukum dagang (Handels recht Vav
koophandel membedakan hukum sebagai perekayasa social atau hukum ekonomi. Dalam
Wetboek Van Koohandel terdapat pula pengaturan mengenai leasing, kondominium,
pada Universitas Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan, agraria,
perpajakan dan pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi, sedangkan hukum dagang
(belanda) dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), khususnya hukum
ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif pemerintah, oleh
karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi pasar bebas dan hukum
ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana.
Pada era Orde Baru pencarian model hukum nasional
untuk memenuhi panggilan zaman dan untuk dijadikan dasar-dasar utama
pembangunan hukum nasional., dimana mengukuhkan hukum adat akan berarti
mengukuhan pluralisme hukum yang tidak berpihak kepada hukum nasional untuk
diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi), terlihat bahwa hukum adat plastis dan
dinamis serta selalu berubah secara kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi
diprakasai kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat adalah
hukum yang memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum kolonial yang bertentangan dengan hukum
adat adalah merupakan tugas dan komitmen Pemerintah Orde Baru untuk melakukan
unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum nasional.
Ide Law as a Tool of Social Engineering adalah untuk
memfungsikan hukum guna merekayasa kehidupan ekonomi nasional saja dengan tidak
melupakan hukum tata negara (terlihatlah mendahulukan infrastruktut politik dan
ekonomi.